this picture taken bye me |
Kali
ini, aku mau mengulas sedikit dari buku yang telah aku baca yang berjudul “Kang Sodrun Merayu Tuhan.” Penulis
Yazid Muttaqin terbitan dari Tinta Medina. Buku bernuansa religi diterbitkan
cetakan pertama pada tahun 2014. Buku lama memang tapi apalah artinya lama atau
baru kalau didalam buku tersebut, kisahnya masih sangat relevan untuk
dipraktekan dalam kehidupan sehari-hari. Ini bukan review pada umumnya sebuah
buku. Aku hanya akan menjelaskan point-point—yang
menurutku penting untuk dibagikan kepada teman-teman.
Buku
ini menjelaskan tentang kehidupan Kang Sodrun orang biasa yang hidup
ditengah-tengah orang miskin. Dari sinilah ia mampu berbagi dan memberikan hak
orang-orang yang lebih membutuhkan daripada dirinya. Banyak hal yang ia temui
dalam perjalanan hidupnya. Ternyata masih banyak orang yang lebih ikhlas dan
tawakal dibanding dirinya. Sebuah renungan untuk kita semua dalam menyikapi
kehidupan.
Paragraf
pertama dalam kisah ini diawali dengan sebiji benih behektare buah, kang Sodrun
kecil yang tinggal di sebuah pesantren sudah tiga hari ia sakit, terkena cacar
air, dengan tergopoh-gopoh ia pergi ke RS sendirian. Seperti teman-temannya
yang lain. Sebenarnya ia juga ingin memberitahu kepada orang tuanya. Namun niat
itu diurungkan. Ia tahu persis bahwa orang tuanya akan panik jika tahu dirinya
sakit. Kepanikan itu akan bertambah kala mereka harus mencari uang untuk pergi
ke Solo menyusul dan mengobati anaknya. Membayangkannya saja Kang Sodrun tidak
tega. Akhirnya ia memutuskan untuk menjalani masa sakitnya sendirian. Saat
sampai di RS. Bocah itu pergi mendaftar dan langsung antre di ruang praktek
dokter. Tak lama diperiksa ia mendapatkan resep dan segera menuju ke apotek
rumah sakit lantai dua. saat namanya dipanggil dan disebutkan jumlah uang yang
harus dibayar, bocah kecil itu makin pucat dan lemas. Uang yang ada
digenggamannya tidak cukup untuk menebus obat. Ditengah kepanikan tersebut,
seorang laki-laki datang menghampiri dan bertanya lembut, “kurang berapa, dik?”
lantas laki-laki itu terlibat percakapan bersama pelayan apotek. Laki-laki itu
membayar lunas tebusan obat yang harus dibayar Kang Sodrun.
Saat
bocah itu menyeberang jalan di depan rumah sakit. Laki-laki itu tersenyum
sambil memberikan beberapa lembar uang dan kartu nama. Dari situ bocah itu bisa
tahu bahwa laki-laki tersebut punya titel seorang Ir. Insinyur.
Kini,
setelah dua puluh tahun terlewati, insinyur itu pasti tidak akan ingat kejadian
di rumah sakit. Ia pasti sudah tidak punya memori tentang bocah kecil yang ia
tolong saat kesusahan. Insinyur itu pasti tidak akan tahu bahwa sebagian
rezekinya yang telah ia berikan memiliki andil dalam kehidupan sang bocah. Ia
pasti tidak tahu bahwa shadaqahnya telah mengantarkan bocah itu pada jenjang
akhir pendidikan pesantrennya dan perguruan tinggi.
Bagi
bocah itu tak akan pernah ia lupakan kebaikan sang insinyur tersebut. Ia masih
menyimpannya sampai dua puluh tahun lamanya. Bahkan, ia berpikir bahwa shadaqah
kecil insinyur tersebut adalah satu mata rantai awal. Ia berkeinginan
menyambungnya dengan mata rantai kedua. Kebaikan insinyur itu akan ia balas,
bukan kepadanya, tapi kepada orang lain agar orang itu bisa menjadi mata rantai
yang ketiga dan seterusnya. Sebiji benih yang ditanam insinyur itu semoga dapat
menumbuhkan berhetare buah yang menebarkan keberkahan bagi kehidupan.
Pada
zaman Rosulullah ada dua orang yang bersaudara. Seorang di antara keduanya
selalu menghadiri majelis Rosulullah untuk belajar dan seorang lagi selalu
bekerja mencari penghasilan untuk membiayai hidupnya dan saudaranya. Perihal
saudaranya yang tak bekerja dan selalu datang belajar di majelis Rosul. Atas
aduan ini Rosulullah bersabda. “Bisa jadi
engkau diberi rezeki karena (menafkahi) saudaramu (yang sedang belajar) itu.”
Dari
kisah ini saja aku sudah mengambil banyak pelajaran. Nyesek rasanya hehehe. Selama
ini kita sering males-malesan buat memberikan sebagian rezeki kita kepada yang
lebih membutuhkan, tentunya ada banyaaaaak sekali alasan yang membuat kita
enggan untuk berbagi. Aku menempatkan posisi pada diri si bocah kecil tersebut
betapa bantuan sesederhana itu membuat hidupnya menjadi lebih baik. Kita tidak
akan pernah tahu kebaikan mana yang orang lain ingat atas kita. Mungkin saja
kebahagiaan yang kita dapatkan dari Allah adalah hasil dari kita tersenyum
kepada sahabat kita? Kau tahu, aku menulis ini bukan berarti aku seorang yang
sholehah. Bukan maksud aku menggurui atau apapun. Siapalah aku ini, cuma
perempuan biasa-biasa saja yang dosanya bertumpuk-tumpuk. Di sini aku hanya
ingin berbagi melalui kisah kang Sodrun. Dan tulisan ini, aku berharap menjadi
salah satu mata rantai untuk kita menebar kebaikan. Lebih tepatnya kisah Kang
Sodrun memang ditunjukan untuk diriku sendiri yang masih sangat lalai atas
perintah-Nya.
Ada
satu lagi kisah yang—menurutku perlu dibagi hehe. Yaitu tentang ‘cinta’. Aku
tahu telinga kalian bahkan sudah sering mendengar tentang apa itu cinta, bahkan
bibir kalian juga sudah fasih menjelaskan ribuan definisi tentang cinta, lagi
pula setiap orang berhak mempunyai pemahaman sendiri-sendiri perihal cinta. Tapi
disini (dalam buku Kang Sodrun Merayu Tuhan) aku mau sedikit berbagi
tentang cinta yang agung namun sederhana. Walah,
bagaimana ko bisa?
Seorang
pecinta tidak hanya mencintai kekasihnya ia juga mencintai keluarga dan apa
saja yang dimiliki kekasihnya. Sebab, sang kekasih tak akan pernah rela jika
dirinya dicinta, tetapi keluarga dan apa-apa yang dimilikinya dicerca.
Simaklah
kisah Umar bin Khaththab. Setan akan lari terbirit-birit meskipun hanya melihat
sandal bakiaknya. Sebab, begitu murni cintanya kepada Allah. Begitu tegas menindak siapa pun yang mengusik
ketenangan Sang kekasih. Meski demikian, nyatanya, bukan karena itu Sang
Kekasih menyayanginya, menerima cintanya. Namun, karena ia membebaskan seekor
anak burung yang sedang dipermainkan seorang anak kecil. Yaitu karena rasa
sayangnya.
Simaklah
Al-Ghazali. Siapa pun di dunia ini mengenalnya sebagai alim yang sufi, sebagai
sufi yang wali. Begitu dalam ilmunya, begitu kuat ketaatannya, begitu tinggi
cintanya kepada Sang Kekasih. Namun, bukan itu semua yang membuat Sang Kekasih
tertawan. Melainkan karena ia pernah membiarkan seekor lalat hinggap diujung
penanya, lalu ia berhenti menggerakan tangannya, demi kasih sayang, demi
memberi kesempatan bagi makhluk kecil itu untuk sejenak beristirahat.
Lihatlah
asy-Syibli, Kekasihnya begitu memujanya bukan karena begitu besar cintanya
kepada-Nya, melainkan karena ia pernah memberikan kehangatan bagi seekor anak
kucing yang meringkuk kedinginan di sudut baghdad.
Cinta
adalah anugerah terluhur dan termulia yang diberikan Allah kepada
hamba-hamba-Nya.
Setiap
rangkaian cerita yang dijelaskan oleh si penulis dalam buku ini menurutku
sangat sederhana, hanya mengulas kehidupan sehari-hari—yang nyatanya banyak
kita lupakan keberkahannya. Sebenanrya, aku ingin menceritakan lebiiiih panjang
lagi. tapi.. kurasa kalian lebih nikmat kalau baca sendiri rangkaian demi
rangkaian kisahnya. Biar bisa merasakan senyum-senyum sendiri atau kadang air
mata tiba-tiba ngalir gitu aja hehehe.
Oke,
sekian deh review singkat ini. Mudah-mudahan
bisa menjadi salah satu mata rantai kebaikan selanjutnya. Semoga bermanfaat.
Mantaf, lanjutkaan..
BalasHapusTerima kasih atas reviewnya mbak tya... semoga lebih banyak orang yang menuai kebaikan buku Kang Sodrun... saya Yazid Muttaqin, penulis Kang Sodrun... salam www.yazidmuttaqin.com
BalasHapus