Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Rabu, 10 Agustus 2016

Melihat Lebih Dekat Kehidupan Penduduk Kampung Naga Tasikmalaya




Hallo teman-teman blogger! Hihi. Akhirnya bisa nulis lagiiiii. Meskipun sambil memikirkan test yang sebentar lagi sudah didepan mata. Tapi, enggak apa-apa. Rasanya kalau sudah menulis hatiku benar-benar merasa bebas. Mungkin itu salah satu katartis yang bisa aku lakukan.

Oke, sekarang tema tulisanku apa yaaa? Ehehehehe. Seperti biasa, Enggak akan jauh-jauh dari traveling dadakan, kuliner asik, dan pecinta sastra. Eh kadang-kadang Giveaway juga hahaha. Maklum sih ya kalau Giveaway jaraaaang bangeeeet menang.

Beberapa hari yang lalu aku diajak si pecinta Anime Addict untuk ikut membesuk salah satu temannya—Erwin—yang terkena musibah (kecelakaan motor). Berhubung aku situkang jalan-jalan katanya berasa bersalah kalau enggak ngajak. Apalagi destinasi kali ini benar-benar menarik. Berkunjung ke Kampung Naga Tasikmalaya. 

Kampung Naga adalah salah satu tempat yang sejak SMP aku ingin kunjungi. Alasannya? Karena waktu itu aku belum terlalu mengenal dunia internet. Belum bisa googling. Apa atuuuuh Handphonenya juga masih jadul. Wkwk. Ceritanya dari mulut ke mulut, mitosnya jumlah rumah yang berada Kampung Naga tidak boleh kurang dan tidak boleh lebih. Selain itu mereka masih memegang tradisi-tradisi peninggalan leluhurnya. Dari situ aku penasaran, bagaimana sih kehidupannya? Bagaimana sih cara bersosialisasinya? Dan.... Dan....   Masih banyak lagi pertanyaan yang menggunung.

Aku berangkat ke Tasikmalaya melalui arah Garut. Kira-kira untuk mencapai Kampung Naga dibutuhkan waktu sekitar satu jam setengah dan itu menggunakan kendaraan roda dua—-Motor—dengan kecepatan diatas rata-rata. Aku sampai mabuk perjalanan karena jalannya yang super geol-geol alias meliuk-liuk.

Lokasi Kampung Naga cukup strategis karena letaknya relatif dekat dengan daerah perkotaan. Sesampainya disana aku disambut pemandangan sebuah tugu berwarna hitam yang bertuliskan Tugu Kujang Pusaka dengan dibawahnya bertuliskan aksara sunda yang khas. 





Memasuki daerah Kampung Naga ternyata enggak sembarangan lho teman-teman. Harus ada izin terlebih dahulu. Aku enggak tahu pake tiket masuk atau enggak atau bagaimana prosesnya karena aku dan teman-teman lainnya memang masuk ke daerah Kampung Naga dengan tujuan membesuk teman yang tinggal di daerah tersebut. Saranku, untuk memasuki Kampung Naga lebih baik dipandu penduduk lokalnya saja karena ada beberapa tempat yang dikramatkan, dipamalikan. Tidak boleh di potret. 


Aku kira, lokasinya dekat dengan motor yang sudah diparkirkan. Tapi ternyata........ Aku bersama teman-teman harus berjalan kaki lagi. Huaaaaa. Kenapa enggak pake motor saja? Enggak bisa. Karena jalannya harus pake tangga yang cukup menguras keringat. Huhuhu. Kabar yang beredar, tidak ada orang yang tahu berapa jumlah anak tangga tersebut karena setiap kali ada orang yang mencoba menghitungnya hasilnya selalu berbeda-beda. 


Kampung Naga berada di lembah yang subur. Sepanjang mata memandang aku hanya melihat hutan yang lebat di sebelah barat. Dengan Sawah-sawah yang membentang. Lalu ada sungai cukup besar. Sungai Ciwulan yang sumber mata airnya berasal dari Gunung Cikuray Garut. 
Poto ini masih diambil dari jarak jauh dari lokasi Kampung Naga
Sungai Ciwulan yang mengalir dengan tenang.
Memasuki Lokasi Perumahan Penduduk, lihat betapa mereka menganut kesederhanaan.


Mayoritas mata pencaharian penduduk Kampung Naga adalah petani tapi ada juga peternakannya sih. Hehehehehe. Banyak turis lokal maupun asing yang berkunjung kesini. Aku sempat wawancara mereka. Katanya ada yang penasaran saja. Pengen Selfi di sini.  Bahkan ada yang memang untuk keperluan  penelitian. Alasannya beragam. Tapi, apapun itu percayalah setelah berkunjung ke sini kalian akan merasakan rasa nyaman yang luar biasa yang enggak akan kalian dapatkan di kota-kota metropolitan. Bagiku yang memang berasal dari Subang yang pelosooooook banget. Rasanya, pergi ke Kampung Naga berasa pulang kampung saja. Mungkin yang menjadi pembeda adalah modernisasinya. Mungkin dari berbagai segi. Tapi menurutku yang paling kental adalah budaya. Penduduk Kampung Naga benar-benar menjaga dan menghormati warisan para leluhurnya. Misalnya dari tata cara membuat rumah. 
Ini aku, bersama Ayahnya Erwin. Ayah Erwin salah satu orang penting di Kampung Naga. Beliau aku mintai poto ramah banget. kebetulan beliau sedang membantu salah satu turis lokal yang sedang mengadakan penelitian dari Surabaya.
'
Sebenarnya, aku enggak tahu nama mereka satu-satu siapa. tapi, karena disuruh pangmotokeun akhirnya aku juga ikut dipotret. wkwkwk
 
ini adalah salah satu penduduk (aku enggak tahu siapa namanya) beliau sedang diwawancarai oleh peneliti dari Surabaya. Aku hanya mendengarkan saja dan ada kesempatan motret. Katanya, Bapak ini pekerjaanya adalah membuat alat-alat tradisional khas Kampung Naga. seperti Coet, Mutu, Boboko,  Centong dan masih banyak lagi. Keren Pokoknya.

Kalian yang berkunjung kesini harus bawa powerbank. Karena di Kampung Naga tidak ada listrik. mereka menolak menggunakan listrik. Alasannya karena mereka ingin melestarikan budaya dan tradisi para leluhur, juga menghargai dan bersahabat dengan alam. Sebenarnya mereka tidak menjadikan kampung mereka sebagai tempat wisata, karena katanya mereka bukan tontonan. Itulah mengapa mungkin kalau ke Kampung Naga harus dipandu oleh penduduk aslinya. 
Penduduk Kampung Naga juga berjualan souvenir khas Kampung Naga.

“Dengan mencintai alam, alampun akan mencintai kita teh. Enggak akan ada banjir dan kekeringan. kampung kami jadi Makmur, Insya Allah.” Kata salah satu warga yang aku tanya-tanya. Huhuhu. Mereka pada ramah-ramah dan baik-baik. Subhanallah. Betaaaaaaah banget. Iya, bagaimana enggak betah. Suasananya benar-benar tenang. Hawanya sejuk. Airnya jernih, enggak ada macet dan polusi sama sekali.

Banyak sekali artikel yang membahas asal-usul sejarah Kampung Naga. Jadi, aku enggak akan membahasnya karena kalau dibahas akan makin panjang lagi. 
tapi, aku juga sempat bertanya pada Erwin. kenapa sih disebut Kampung Naga? 
Erwin menjawabnya sambil tersenyum dan tenang. 

"Hmmm. Mungkin awalnya dari kata Nagawir."  
Aku sedikit terkejut, tapi kalau dipikir-pikir memang bener sih hehehe. Karena penasaran juga oleh mitosnya tentang jumlah rumah yang tidak boleh kurang dan tidak boleh lebih itu ternyata cuma mitos belaka. Jumlah rumah yang ada di Kampung Naga sekarang ada 113. Tapi, bukan berarti tidak boleh membuat lagi Rumah. Tergatung bagaimana ada lahan yang kosong saja.
Aku kagum pada penduduk Kampung Naga karena mereka benar-benar menjaga, menghargai, mengingat budaya mereka. 


“Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarah dan budayanya”



Oiaaaaaaaaaaa. Satu lagi. Setelah aku keliling-keliling Kampung Naga sendirian. Karena yang lain memilih beristirahat di rumah Erwin. Perutku lapar. Pulang ke rumah Erwin disambut dengan hidangan makanan khas sunda. Liwet, sambel, lalap, ikan goreng. Ngilerrrr bangeet. Sampai enggak sempet aku potret karena saking lapernya. 
Yang disebelah Kiri itu Erwin. kalau yang di sebelah kanan abaikan saja. wkwk.

Makasih buat Ibunya Erwin. Dan semoga Erwin lekas diberi kesembuhan sama Allah, ya.
Aku sebenarnya penasaran, bagaimana melewatkan malam di Kampung Naga? Semuanya gelap karena tidak ada listrik? Dan walaupun hanya ada penerangan tradisional. Barangkali bintang-bintang di langit akan mengiasinya. *eakkkkk*





Satu lagi nih, Karena Kampung Naga udaranya sejuk dan dingin. kalian butuh baju hangat. aku lagi pake switer bocky pocky from 12gluck.  Onlineshop rintisan aku dan temen. Yang pengen samaan dan penasaran lihat koleksinya di instagram ya klik disini. Kami juga menyediakan assesoris gelang handmade lho!



Oke, Mungkin segitu berbagi kisahnya. Sebenarnya masih banyak yang pengin aku ceritain ke kalian. kalau mau share dan diskusi sama aku silakan hubungi aku di instagram @tyataya atau Line tyataya.




Tulisan ini diselesaikan sesaat sebelum matahari terbit. 
salam
tyataya

4 komentar :

  1. Masih hijau yah suasananya ya tay.

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya uda. pokoknya masih bener-bener tradisional kehidupannya juga. betah disini enggak ada macet hhe

      Hapus
  2. tulisannya diselesaikan sebelum matahari terbit. kalo matahari terbit tapi tulisannya belum selesai mungkin jadi buta huruf.hahaha

    BalasHapus
  3. wah aku juga pernah fieldtrip kuliah ke Kampung Naga. lumayan pegel jalannya :D

    BalasHapus