Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Rabu, 18 Januari 2017

Tujuh Belas Tahun Menunggu




Aku masih ingat betul, saat itu aku masih duduk di kelas satu Sekolah Dasar (SD). Usiaku tujuh tahun. Aku tidak tahu kapan keinginan itu datang. Aku ingin punya seorang adik. Ya! Aku anak tunggal yang selalu dimanja. Apa-apa dikabulkan, tidak pernah sama sekali disela. Aku ingin membeli boneka, gimbot, sepeda, jalan-jalan berkunjung ke salah satu wisata di kota Subang—Selalu dikabulkan oleh kedua orang tuaku. Mereka benar-benar memperlakukanku layaknya permata.

Hingga suatu hari. Aku melihat sebuah keluarga yang menyenangkan. Bukan berarti hidupku tidak bahagia. Kalian semoga memaklumi bahwa saat itu aku masih anak-anak.

Aku melihat kakak beradik, mereka menggunakan sepeda berwarna merah. Kakanya dengan telaten membimbing adiknya yang sedang belajar menggunakan sepeda. Kakanya berseru
“Ayo dik, jangan takut jatuh. Kayuh terus sepedanya kamu pasti bisa. Kakak disampingku.”
Si adik tersebut dengan keringat bercucuran, susah payah menyeimbangan sepeda. Aku melihat raut wajahnya seolah tidak pernah takut untuk jatuh. Ada kakanya disampingnya.

Setelah kejadian itu. Berhari-hari aku melewati rasa gelisah. Cemburu. Aku cemburu pada sesuatu yang baru. Seandainya aku menjadi seorang kakak tersebut memiliki adik kecil yang manis. Menjaganya, membantunya dalam kondisi apapun.

Rasanya, aku didera cemburu saat itu. Dipikranku, memiliki seorang adik adalah salah satu hrga yang tidak bisa digantikan dengan apapun. Kita bisa berbagi hal menyenangkan maupun sebaliknya, karena kita punya saudara. Tidak sendirian. 

Maka, setelah beberapa hari aku diserang rasa cemburu aku memutuskan untuk meminta kepada ibuku untuk dibuatkan seorang adik. Lucu sekali, ketika teman sekolahku tidak ingin mempunyai seorang adik. Mereka menolak mentah teoriku tentang mekanisme berbagi kepada saudara sekandung. Katanya, jika punya adik lagi. Itu berarti kita harus siap untuk diduakan. Kita harus siap disalah-salahkan. Aku tidak peduli. Aku meminta kepada ibuku untuk tetap dibuatkan seorang adk. Ibuku memahami semuanya, beliau berbicara padaku lembut.

“Nak, ibu juga ingin memberikanmu seorang adik. Adik kecil yang lucu dan menggemaskan. Tapi nanti ya kalau kamu sudah besar.”
“Kapan bu?” Aku bertanya penasaran. butuh kepastian.
“Nanti setelah kamu lulus sd saja. bagaimana?” Tawar ibu.
Aku mengangguk. Setuju.

Setelah itu aku tidak pernah banyak meminta. Hanya menunggu. Sampai aku lulus SD. Aku tidak tahu apakah ibuku lupa perihal aku yang meminta seorang adik atau bagaimana. Aku tidak tahu. Akhirnya, karena saking inginnya punya adik kecil. Ini ide gila yang pernah aku lakukan. Aku menyembunyikan pil KB milik ibu. Pil itu berwarna putih isinya kurang lebih 12 pil. Mirip permen susu yang sering aku beli saat istirahat disekolah. Bedanya, pil itu bulat dan setiap stripnya berukuran beda-beda. Dari yang diamaternya kecil sampai agak besar. Ah, aku tidak paham. Apalagi saat itu ketika membaca keterangan dalam kemasannya.
Setelah lebih dari satu bulan. Ibu sama sekali tidak memiliki tanda-tanda hamil. Tidak ada kabar gembira yang setiap hari aku nantikan. Misalnya, “Nak. Kamu sebentar lagi akan punya adik.” 

Tidak ada. Harapanku hangus. Saat aku melihat ibu ternyata punya persediaan pil KB tersebut bukan di satu tempat saja.

Aku pasrah. Sampai aku menamatkan sekolahku. Sampai aku masuk SMA kelas satu. Karena kegiatan sekolah yang luar biasa padat. Serta, engkau tahu masa-masa SMA adalah masa yang paling menyenangkan. Karena pengetahuanku semakin bertambah usia ibuku sudah tidak muda lagi. Terlalu beresiko kalau ibu hamil lagi. Terlebih ibu memiliki penyakit darah tinggi dan wasir. Sudah terhitung tiga kali ibu dioperasi karena penyakit wasir. Seperti cinta yang selalu hadir dalam kehidupan umat manusia. Memori lama yang berisi impian memiliki seorang adik selalu hadir pula. Aku masih menyimpannya dan berharap Allah mengabulkan diam-diam doaku yang tak pernah terucapkan itu.
Hingga suatu hari. Aku masih ingat, saat itu aku duduk dikelas 2 SMA umurku 17 tahun. Baru saja aku pulang sekolah melihat ibuku sudah berbaring lemas dikamar ditemani tanteku. Mereka berdua menangis. Lalu memelukku erat. 

“Selamat ya, sebentar lagi kamu akan punya adik.”  Lirih tanteku. Air matanya berlinangan. Tapi, aku tidak mendengarnya langsung dari ibu. Ibu hanya diam. Membisu. Wajahnya yang bercahaya redup dan terlihat ketakutan.

Aku menemani Ibuku pergi ke bidan untuk memeriksa kandungan. Bidan itu cantik sekali usianya mungkin lebih muda dari ibu. Bidan itu berpesan kepada ibu agar menggugurkan kandungannya karena usia ibuku beresiko. Katanya, tidak apa-apa digugurkan mungpung usia kandungan ibu masih satu minggu. Ditambah, Ibu yang akhir-akhir ini sering sakit-sakitan karena penyakit komplikasi darah tinggi dan wasir.

Mungkin, kalian bisa memahami keputusan bidan tersebut saat itu. Toh, segumpal darah yang ada pada rahim ibu belum ditiupkan ruh. Tapi tidak denganku. Aku sudah menunggu adik kecil selama tujuh belas tahun lamanya. Lalu, dengan keputusan aklamasi harus digugurkan? Keputusan macam apa itu. Aku tidak terima. Aku menangis memohon kepada ibu agar tidak mengikuti keputusan bidan tersebut. Ibu tidak mendengarkanku. Juga Bapakku. Terlebih aku tahu ibu sudah berusaha menggugurkan kandungannya dengan cara makan nanas muda, melakukan aktivitas berat. Dan yang terakhir meminum kapsul berwarna merah yang—entah apa. Kapsul itu yang membuat Ibu harus pergi ke rumah sakit karena berdampak pada penyakit wasir dan darah tinggi beliau.

Aku kesal sekaligus sedih. Aku tidak ingin melihat ibu sakit lagi. Tapi aku sedih dengan keputusannya. Apa kabar adikku yang usianya belum satu bulan? Ah, aku tahu Allah menjaganya. Aku tahu.
Tujuh bulan berlalu. Kandungan ibuku semakin membesar. Ini adalah sebuah keajaiban, kandungan ibuku tetap bertahan. Sampai suatu hari. Tekanan darah ibu tinggi dan wasirnya kambuh lagi. Rasanya selama tujuh bulan itu keluargaku sedang ditempa habis-habisan. Keluar masuk rumah sakit, sampai melakukan operasi lagi sampai pergi ke kota Bandung karena rumah sakit di Subang tidak sanggup lagi.
Kalau sudah begini, aku merasa aku adalah orang yang paling egois. Harusnya, aku juga mengikuti saja perintah bidan itu dulu. Aku tidak ingin kehilangan ibu. Sungguh. 

Hari itu adalah hari dimana ibuku kembali ke ruangan operasi. Bukan operasi wasir. Melainkan operasi cesaar. Mengeluarkan adikku. 

Ujian lagi. Kawan. Allah mengujiku lagi. Ibuku tidak sadarkan diri. Dan bayinya kekurangan gizi. Kata dokter ada sumbatan dalam usus si bayi yang menyebabkan cairan atu nutrisi apapun tidak masuk ke dalam perutnya. Selang alat-alat dokter sudah menempel di tubuh adikku. Kalau dalam waktu satu minggu adikku tidak dioperasi mengeluarkan sumbatan terebut. Maka nyawanya tidak akan tertolong lagi. Kira-kira begitu penjelasan dokter. 

Aku melihat adikku dalam ekubator. Tubuhnya benar-benar kecil. Matanya tertutup. Warna kulitnya kuning bersih. Dan wajahnya bercahaya. Ya Allah, ini adalah doa-doa yang tak pernah lelah aku panjatkan kepada-MU. Ini adalah hadiah selama tujuh belas tahun aku menanti. Haruskah Engkau renggut kembali?
Bapak sudah kebingungan mencari uang untuk biaya rumah sakit. Tidak apa. Aku punya tabungan selama aku SMA. Itu tabungan yang rencananya untuk biaya aku kuliah, adikku lebih berharga. Tapi tetap saja tidak cukup. Sampai pada suatu pagi Bapak sudah pasrah. Membawa ibu dan adikku pulang saja. Ibu memang sudah siuman. Kondisinya semakin hari semakin membaik. Tapi adikku sebaliknya. Awalnya, dokter tidak mengizinkan. Bapak memaksa. Akhirnya, dokter mengizinkan kami keluar dari rumah sakit tapi esok hari.
Pada malam terakhir yang dingin. Aku tertidur di teras rumah sakit dengan beralaskan tikar bersama bapak. Kami menjaga ibu. Aku membangunkan bapak. Rasa-rasanya, aku ingin pergi ke masjid malam itu. Entah kenapa tiba-tiba kakiku tergerak kesana. Bapak meng-iyakan. Kami mencari masjid yang dekat dengan rumah sakit karena aku memaksa pergi ke masjid. Bukan ke mushola rumah sakit.
Setelah lima belas menit mencari, kami menemukan masjid tersebut. 

”Aku mau sholat tahajud pak.” Kataku akhirnya. Aku selalu baik-baik saja dihadapan siapapun. Bapak mengangguk. Beliau juga mengambil air wudhu. Dan mulai larut dalam sholat. 

Engkau tahu, dalam sholatku malam itu. Aku tidak meminta apapun. Aku hanya meminta agar Allah tidak jauh-jauh dariku. Rasanya, saat keningku bersujud. Malam itu, Allah sedang memelukku erat-erat. Aku menangis dalam keheningan. Terus menangis. Terus menangis. Mungkin orang-orang melihat aku baik-baik saja menghadapi ujian dari-NYA. Tapi, malam itu aku benar-benar mengadu. Betapa lemahnya aku. Betapa kerontanya jiwaku. Betapa aku tidak bisa berbuat apa-apa tanpa Allah. 

Maka, sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan, sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. (Qs Al-Insyirah 5-6).

Pagi harinya Bapak membawa Ibu dan adikku keluar rumah sakit karena tidak sanggup dengan biaya yang terus membengkak. Nanti, kata Bapak diobati dirumah saja. diobati pake apa? Pikirku. Tapi. Aku tidak bisa berbuat banyak. Hanya menurut. Seminggu berlalu. Subhanallah. Adikku baik- baik saja. bahkan, semenjak ia dibawa pulang dan diberi ASI. Ia bahkan mau menurut. Tidak dimuntahkan saat dirumah sakit dulu.

Aku memeluk ibuku erat-erat. Tidak banyak bicara. 

Terimakasih, ibu sudah mau berjuang untuk memberikan hadiah ini diumurku yang tujuh belas tahun. Terimakasih Bapak atas keringat-keringat yang engkau keluarkan untuk tetap bertahan tanpa meminjam uang kepada orang lain. Dan, terimakasih atas hatiku. Atas rasa sabar ini selama tujuh belas tahun lamanya. Terus meminta dan berharap. Aku tahu Allah dekat bahkan lebih dekat dari nadiku sendiri. 

Ternyata, bukan hanya di sinetron saja yang punya ending bahagia. Apabila kalian terus berusaha, berdoa, meminta tanpa lelah terus dan terus. Happy ending itu ada. Karena Allah pemilik segala kisah.
Kalian pasti bertanya, adikku perempuan atau laki-laki. Hehehe.
Aku punya seorang saudara; ia bagiku pangeran kecil yang kelak akan menjadi pembela saudaranya. Menjaga kedua orang tuanya. Dan berguna bagi sesama.
Namanya; Muhammad Arizki Setiawan.
Aku tidak sendirian lagi. Aku bisa berbagi. 
Photo from website https://azizahsl.wordpress.com/2013/12/31/kakak-atau-tante/


Bandung, 2016
tyataya

10 komentar :

  1. Wah selamat ya mbak, akhirnya dapat adik juga. Terus terang punya saudara itu lebih mengasyikkan daripada sendiri mbak.

    BalasHapus
    Balasan
    1. iyaa terimakasih hehehee. memang begitu, lebih asik, lebih seru dan menggemaskan punya saudara. hehehe yang jelas enggak ngerasa kesepian.

      Hapus
  2. Semoga adiknya selalu sehat dan bisa tumbuh dengan kuat ya...

    BalasHapus
    Balasan
    1. aamiin. makasih mbak Leni ya. salam kenal :)

      Hapus
  3. hmmm, hampir2 bacanya, melow2 agak bahagia begitu. selamat ya sudah punya adik, btw saya dan kaka saya beda 17 tahun juga kok ^_^, tapi kasusnya beda, beliau sulung, saya bungsu, dan diselipkan 5 saudara diantara kami

    BalasHapus
    Balasan
    1. waah salam yaa kepada si sulungnya :) saudaranya banyak sekali rame banget kayanya ya mas?

      Hapus
  4. Selamat :-) Ikut bahagia, kalau baca cerita tentang anak, jadi inget anakq.

    BalasHapus
  5. 10 tahun bukan 17 tahun kali yong, emangnya lo dari bayi udh minta adik? Wkwk.. Anw, nangis nih gue pas bagian rumah sakit..

    BalasHapus
    Balasan
    1. haha jeli ya lo teng. ehh masa nangis. semoga bisa jadi pelajaran aja sih gue mah berharapnya :)

      Hapus