Dulu, dikala masih ada titik pemisah antara sorotan mata
yang membentuk arti. Kamu dengan segala ketakutan, dan aku dengan segala
ketidaktahuan. Mengartikan segalanya adalah biasa. ntah sejak kapan kamu menjelma menjadi jagat
raya yang didalamnya terdapat milyaran galaksi lalu tertarik menghamburkan
bintang, kerlap kerlip terang dan menyala. Mempesona.
Dan....
setiap tindakan dan sentuhanmu menyimpan banyak pertanyaan
dalam benakku, Rahasiamu seperti lautan yang menyimpan banyak misteri, menimbulkan
gelombang ketidakmengertian, aku diantar kembali menyelami lautanmu, lebih
dalam. Lebih keras. Hingga aku hanya bisa sampai pada zona bathyal, dimana
sinar matahari hanya bisa sampai pada batas itu.
aku memang tak sanggup mencapai palung yang kau sebut sebut
sebagai rahasia rasa. Yang ntah berwujud seperti apa. Tapi ku kira, Sedikit tekanan bisa membongkar
rasa yang entah berapa lama mengendap.
Lalu, setelah semuanya seterang mentari pagi, aku baru
menyadari akan dua insan yang saling membutuhkan. Kamu menjelma menjadi udara
yang kuhirup dalam sisa sisa kesesakanku. Ketika udara tidak dapat lagi menahan
semua uap air, kemudian dengan semua proses yang terjadi, kamu menjelma menjadi
setetes embun yang mendamaikan jiwa.
Terkadang, kenormalan seseorang bisa di pertanyaan saat
delusi menghampiri, kukira realita sudah melebur bersama ilusi dalam harapan
yang nyatanya hanyalah fatamorgana.
Aku mulai memikirkan tentang sebuah pengakuan, mengalah pada
pernyataanmu, setiap malam dibatas sadar, bersama Kunang Kunang yang berpijar,
kulihat cakrawala asa, kutulis dirimu dalam aksara. Bahwa aku tak bisa lagi menjauh
dari semua yang bisa mendekatkanku dipelukanmu, di ruang yang tersedia kini,
tanpa kehampaan, aku mencintaimu dalam ketidaknormalan, dan aku menikmati semua
itu. tak perlu dengan pertanyaan mengapa dan karena, Rasakan saja, ketika
keanehan mengubah abu abu menjadi pelangi.
Tapi, jika harus kukatan ini, dititik paling sadar yang
setidaknya masihku miliki,
Aku ingin sedikit egois berganti peran menjadi antagonis,
rasanya lelah memikirkan sesuatu yang membahagiaan tapi juga mengkhawatirkan. Tentang
rencana rencana indah dimasa depan? Yang sering dihadirkan dalam pembicaraan,
malaikat malaikat kecil yang berseri seri membuat kesabaran begitu saja menguap.
Aku tidak pernah ingin menyekat hatiku sendiri, membebaskan sebebas
bebasnya di lapisan paling tinggi sebuah imajinasi yang perlahan melebur
menjadi sebuah do’a tulus, kuharap, ada bibir bibir ikhlas yang
meng-aamiin-kannya. Selain jeritan hati kita masing masing.
aku berdoa disuatu masa yang kusebut masa depan.
Di setiap dingin malam yang menjalar, aku ingin bisa
memelukmu lebih erat lagi..
Lalu, pada pagi hari dimasa depan. Aku ingin menikmati
setiap lengkungan senyummu lebih lama...
Hingga pada siang hari tempat dimana matahari membakar optimisme,
aku ingin menjadi tempat keluh kesahmu. Aku
ingin terus menggenggam tanganmu hingga rambut memutih dan kulit mulai
mengendur. Lebih dari yang selalu
kudekap, aku ingin menjadi tujuanmu pulang. ini terlalu egois bukan? Lantas apa
yang harus kita lakukan dalam bentangan takdir?yang jelas, ini bukan sebuah drama
yang kita bisa atur sendiri endingnya.Ini kenyataan yang menyesakan dada, dan
ketakutan yang merisaukan kebersamaan..
Bagaimana mungkin, semua orang sibuk mengindahkan masa
depan, sementara kita. diambang kekhawatiran. Rasanya, tak ada gunanya merayu
sang takdir agar bepihak pada kita. kita hanya menunggu. Dan kurasa, takdirpun
juga menunggu. Tapi setidaknya kita masih bisa berjuang bukan?
Aku tak peduli dengan masa dimana kita akan saling
menguatkan, atau saling mengikhlaskan. Aku akan tetap dititik ini, mencintaimu.
untuk semua yang kusebut bahagia
adalah kamu.
terimakasih atas cinta yang sesederhana
senyuman polos kita.
mencintai keanehan adalah sebuah keanehan.
Kita akan utuh, jika tak saling
acuh. Jadi, tetaplah selalu seperti itu. Anomali.
From the earth, to the rain
Minggu, 19 oktober 2014
5:45 wib
I see you
@tyataya
Tidak ada komentar :
Posting Komentar