Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Senin, 26 Oktober 2015

Perjuangan Rio

Oleh : Tia Setiawati




Malam kian merayu sepi, menghadirkan kesunyian pada dinding-dinding kamar Rio. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 23:30 WIB, semua orang di rumah itu sudah tertidur lelap dan mulai terbang ke alam mimpi mereka masing-masing. Sementara kamar Rio masih terang-benderang, rasa kantuk tak kunjung hinggap meskipun matanya sudah berapa kali ia coba pejamkan, ada rasa bimbang yang menjalar lebih dari senyap malam ini, hatinya terus bertanya-tanya, semua yang terjadi di sekolah hari ini sudah cukup membuat Rio tidak bisa berpetualang ke alam mimpi. Pikirannya terus tertuju pada Rianti—Gadis yang memiliki lesung pipi, dengan mata cokelat yang bulat—yang menjadi pusat perhatian seluruh siswa cowok di kelas Rio—termasuk Rio. Bagi Rio, Rianti adalah satu-satunya cewek yang bisa membuat jantung Rio berdetak tidak seperti biasanya, Rianti telah membawa Rio pada perasaan yang di namakan cinta, Ah, cinta. Cinta seperti apa yang tidak pernah berani diungkapkan itu? Sebenarnya Rio nyaman-nyaman saja selama ini memendam perasaan pada teman sekelasnya itu, tapi melihat kejadian tadi siang di sekolah, Boy—cowok terkenal paling keren di sekolah, telah mengungkapkan perasannya pada Rianti. Kejadiannya berlangsung pada saat bel istirahat pertama, saat itu Rianti masih berada di dalam kelas sehingga memberikan kesempatan bagi Boy untuk berbicara. Boy begitu optimis aksinya akan menuai reaksi romantis di benak Rianti apalagi ia membawa setangkai bunga mawar merah, dan cokelat—yang menurut kaum hawa itu adalah pemberian romantis. Rio yang kebetulan hari itu sedang tidak ingin keluar kelas menyaksikan drama romantis yang dilakukan Boy.
            “Rianti,” katanya dengan nada dilembut-lembutkan, padahal menurut Rio suara Boy lebih mirip seekor katak yang terinjak traktor. “Aku suka sama kamu, mau enggak jadi pacarku?” Mata Boy bersinar-sinar di bawah sinar matahari yang masuk ke celah-celah jendela kelas.
Rio sempat mencuri-curi pandang pada Rianti, ia melihat Rianti tersenyum, tapi lesung pipinya tidak tampak menghiasi pipinya yang bersih. Akhirnya, di batas terakhir harapannya, Rio pasrah cintanya akan kandas terdahului oleh lelaki tampan bernama Boy. Dan ia sadar ia tak setampan dan sepopuler Boy, tidak ada alasan bagi Rianti untuk menolak Boy.
“Maaf, Boy, aku enggak bisa terima cinta kamu.”
Boy terperangah.
“Kenapa? Aku kurang baik? Aku kurang ganteng? Atau aku kurang kaya?”
“Enggak, justru kamu lebih dari itu.”
Lho, terus kenapa? Kamu cewek aneh!”
“Maaf Boy, kita temenan aja, ya. Sekali lagi, maaf.” Begitu kira-kira kalimat penolakan yang diucapkan Rianti pada Boy. Cukup halus. Bayangkan!!. Betapa terkejutnya Rio yang mendengar langsung saat itu di kelas.
 Rianti, cowok seperti apa yang sebenarnya kamu inginkan? Rianti sudah menolak hampir separuh cowok anak kelas Tiga di sekolah mereka. Dan sekarang, Boy yang hampir setara dengannya juga ia tolak?
Beberapa anak di kelas yang menyaksikan kejadian itu terlihat kecewa mendengar jawaban Rianti, padahal jika Rianti menerima cinta Boy. Mungkin mereka bisa menjadi pasangan yang populer dan paling romantis di sekolah. Mereka menyayangkan keputusan Rianti, kecuali Rio. Hatinya bersorak-sorai.
“Rianti, sayang, apa mungkin kamu menykaiku? Apa mungkin kamu menungguku untuk menyatakan perasaan ini? Batin Rio terus menggeliat, hati kecilnya ingin segera mengungkapkan  perasaan yang dimilikinya, sebelum orang lain mendahuluinya lagi karena toh  Rianti cukup mengenal Rio dengan baik. Mereka sering terlibat dalam satu kelompok, satu organisasi, satu kesukaan, satu kebiasaan—Dan satu...., satu apalagi? Itu semua belum cukup untuk meyakinkan hati Rio bahwa Rianti juga menyimpan perasaan yang sama. Apalah daya, satu sisi Rio merasa minder dengan segala apa yang menempel di dirinya, Boy saja yang menurutnya sudah hampir mendekati kata sempurna ditolak oleh Rianti. Apalagi Rio.
            “Tok..Tok..Tok...” Terdengar suara pintu diketuk dari luar, Rio mengerjap-ngerjapkan matanya, mencoba mengembalikan pikirannya ke dunia nyata. “Rio, kamu udah tidur?
 Rio bangkit dari kasurnya dengan enggan untuk membuka pintu kamarnya.
“Kenapa, sih, Bang. Jam segini waktunya tidur. Masih aja ngetuk-ngetuk pintu kamar orang, ganggu tahu!!” Gerutu Rio kesal, Raka—Abangnya Rio memang sering mengganggu Rio.
“Kamu sendiri juga belum tidur.” Balas Raka sambil berjalan melewati Rio tak peduli.
“Insom, Bang.”
“Oh,”” jawab Raka cuek, kemudian ia mulai membuka laptop milik Rio yang tergelatak begitu saja di atas kasur, “Abang emang tadi udah tidur, cuma keinget belum ganggu kamu jadi ke sini. Hahaha.”
Rio mendengus sebal, Abang satu-satunya itu memang selalu mengganggunya setiap malam, atau lebih tepatnya setiap ia tidak ada pekerjaan. untuk sesaat Rio berpikir mungkin Abangnya bisa membantu memberikan solusi bagi kemelut hatinya. Menurutnya tidak ada salahnya bercerita sedikit.
            “Bang..”
“ Hmmm..” Gumam Raka mulai sibuk dengan games di laptop Rio.
“Abang pernah jatuh cinta enggak, sih, bang?” Tanya Rio ringan namun berhasil mencuri perhatian Raka. Raka menoleh dengan cepat, tersenyum misterius.
            “Pernah, bahkan sering.”
            “Kok sering Bang? Emangnya ceweknya ada banyak?“
“Selera Abang berubah-ubah. Tapi kali ini Abang lagi pacaran sama si Silvia. Yang kemarin Abang tunjukin fotonya. dia itu beda. Manja-manja gimana gitu, Kamu lagi naksir cewek, ya?”
Rio mengangguk malu-malu.
            “Terus kenapa kok kayanya gelisah gitu? Ditolak? Yaelah Yo, namanya ditolak mah udah biasa.”
            “Gini, Bang—“
“Jangan khawatir. Masih banyak cewek lain!” Belum sempat Rio menjelaskan kalimatnya. Raka menyambar.
            “Tapi aku maunya Rianti, Bang, Rianti Darmawan.” batin Rio menegaskan kembali.
            “Bang, dengerin dulu, belum selesai bicaranya!” Rio mendengus kesal karena dari tadi bicaranya selalu dipotong Raka. “Aku belum ngungkapin perasaanku ke dia, Bang. Namanya Rianti, dia teman sekelas, aku enggak punya keberanian untuk itu. takut ditolak, soalnya tadi siang aja Rianti udah ditembak cowok lain, tapi untunglah Rianti nolak.”Papar Rio.
            “Ya, berarti dia suka ke kamu.”
Seandainya perkataan Abangnya itu benar.
            “Belum tentu, Bang.” Sanggah Rio lemas.
“Gini ya, Yo, setiap cinta itu ada kadar perjuangannya masing-masing, kamu enggak usah takut ditolak sama cewek yang kamu suka. Yang penting kamu udah berjuang buat ngungkapin perasaan yang kamu punya. Urusan diterima atau ditolak mah belakangan.”
Sesuatu yang tadinya gelap kini menjadi terang, ah, Abang Rio memang selalu punya seribu kata-kata untuk merayu wanita, tapi, dia tidak pernah kehilangan kata-kata untuk menyemangati dirinya sendiri—juga adiknya ketika ditolak seorang cewek.
***
Pagi-pagi sekali, Rio berniat mengikuti saran Raka. Mengungkapkan perasanya pada Rianti. Bila perlu dengan melibatkan kedua Orang Tua Rianti, semoga cara ini lebih manjur dari sekedar bunga dan cokelat. Setelah hampir setengah jam mencari rumah Rianti, akhirnya motor Rio berhenti di salah satu rumah bercat biru. Rio kembali melihat kertas berisi alamat rumah Rianti. Ia mencocokkan nomor yang tertulis di kertas yang diberikan oleh teman dekatnya Rianti. No 13B. Tepat! Segera ia memencet bel. Berulang kali Rio merapikan bajunya yang sebenarnya sudah rapi itu. Irama jantungnya terus berdetak tak karuan, aliran darahnya berdesir-desir. Ia bisa merasakan keringat dingin mulai membasahi telapak tangannya saat ibu Rianti mempersilakannya masuk. Ibu Rianti terlihat senang atas kedatangan Rio, hal itu terbukti dengan hidangan ringan dan minuman yang disajikan oleh Ibu Rianti. Sambil mengobrol menemani Rio yang saat itu tengah gelisah menunggu Rianti. Apalagi ditambah pertanyaan terakhir yang menciutkan keberanian Rio.
“Nak Rio ini pacarnya Rianti, yah?” Tanya Ibunya Rianti dengan lembut tak henti-hentinya Ibu Rianti tersenyum saat memandang Rio yang malu-malu.
“Bukan, Rio bukan pacar Rianti, kita cuma temenan, Tante.” Jawab Rio gelisah, ia takut jawabannya salah atau berlebihan.
“ Oh,” Ibu Rianti membulatkan bibirnya, terlihat matanya yang bersinar-sinar tadi, malah meredup saat mendengar jawaban Rio. “Tante pikir kamu pacarnya, soalnya belum pernah ada cowok yang main ke rumahnya Rianti. Hehehe. Tunggu sebentar, ya. Tante panggil Rianti nya dulu. Kok lama sekali, ya, anak itu.”
Selang beberapa menit Rianti turun dari kamarnya, raut wajahnya kontras dengan yang selama ini dilihat Rio di sekolah. Terlihat sedikit judes. Ia masih memakai baju tidur dan rambutnya diikat dengan asal. Tapi, ia masih tetap terlihat cantik dengan wajah naturalnya. Rianti berjalan dengan enggan lalu memilih duduk di kursi yang berbeda dan agak jauh dari Rio. Namun tetap berhadap-hadapan dengan Rio. Karena sudah ada Rianti, Ibunya pergi meninggalkan mereka mengobrol berdua. Untuk sesaat keheningan menyelimuti keduanya. Atmosfer di ruangan itu mendadak dingin. Hampir saja Rio kehilangan oksigen untuk bernafas.
“Kalau mau bertamu liat-liat jam dulu.”
Rio tertohok mendengar kalimat pembuka yang diucapkan Rianti. Ia mengumpat dirinya sendiri mengapa ia bertamu terlalu pagi. Ini hari Minggu, jelas Rianti ingin sejenak bermalas-malasan mengingat jadwalnya di sekolah sangat padat.
“Maaf, aku enggak bermaksud ganggu kamu.”
Rianti menghela nafas sejenak.
Oke, sekarang kamu mau apa ke sini?” Tanyanya tanpa basa-basi. Raut wajahnya benar-benar tidak menunjukkan keramahan.
Rio menguatkan hati. Mood Rianti sepertinya kurang baik hari ini, ah. Rio salah memilih hari. Mau apa? Berbalik pun rasanya tak mungkin lagi. Dengan mengumpulkan sisa-sisa keberanian yang berserakan Rio memberanikan berbicara apa tujuannya kemari.
“Baiklah sebelumnya, maaf kalau kedatangan aku kemari mengganggu segala—”
“Enggak usah seformal itu, intinya aja, Yo.” Sela Rianti pedas.
Rio menarik nafas dalam-dalam. Ya Tuhan, Kenapa Rianti berubah menjadi monster?
“Iya, Maaf,” Rio mengusap wajahnya dengan kedua tangan yang tadi penuh dengan keringat, ia ingin membuat hatinya mencair. “Aku..., aku ke sini, gini, aku tuh. Aku.” Rio benar-benar kehilangan kosakata untuk mengungkapkan apa yang ada di hatinya.
“Yo, kamu mau apa sih sebenarnya? Dari tadi bicara kamu muter-muter, kamu mau nanyain tugas, ya?”
“Bukan.”
“Atau mau nyuruh aku ngerjain tugas kamu?”
Rio menggeleng.
“Terus?” Alis Rianti bertautan, ia semakin tidak memahami kedatangan Rio yang tiba-tiba. Apalagi dengan cara bicaranya yang tidak biasanya seperti ini.
“Aku cuma mau ngomong jujur,” Rio menunduk, seolah ia ingin bersembunyi dibalik tatapan tajam Rianti, “aku—“ Katanya, suara Rio tenggelam, ia bahkan bisa mendengar sendiri deru jantungnya.
“Ya Tuhan, Rio! Please, aku enggak punya banyak waktu buat tebak-tebakan sepagi ini!”
Rio memejamkan matanya sejenak, setiap cinta punya kadar perjuangannya masing-masing, enggak usah takut ditolak, Yo. Kamu sudah berjuang. Kata-kata Abangnya terngiang-ngiang. Rio menarik nafas sekali lagi, kali ini lebih tenang.
            “Aku sayang sama kamu Ri, lebih dari sekedar teman. Kamu mau jadi pacarku?”
Rianti tersendat mendengar kalimat Rio yang begitu tiba-tiba. Sepagi ini, ia mendapat satu kejujuran dari teman sekelasnya yang selama ini selalu dengan hati-hati jika berbicara padanya, yang selama ini tidak pernah menyinggung tentang perasaan.
Dan cinta memang bisa datang kapan saja.
            “Rio, aku hargain keberanian kamu ke sini. Aku hargain semua perasaan kamu yang kamu punya itu, aku.....”
Rio melihat senyum Rianti seperti saat Boy menyatakan cintanya pada Rianti, tapi, kali ini, ia melihat senyuman yang dibarengi lesung pipinya. Memesona, sungguh! Seperti senyuman yang tidak dibuat-buat, ah, Rianti.
            “Aku, Apa?” Tanya Rio.
            “Aku enggak bisa jadi pacarmu sekarang.”
            Rio menunduk, ia tahu, ia harus sudah siap menerima penolakan. Kini, ia tahu, bagaimana perasaan Boy ketika cintanya ditolak.
            “Enggak apa-apa, aku bisa terima keputusan kamu, setidaknya aku udah ungkapin perasaanku yang sebenarnya.”
            “Maksudku...., maksudku untuk sekarang aku enggak bisa, aku mau fokus dulu belajar, aku mau bahagiain dulu Mama Papa.”
***
Setelah hampir satu setengah jam Rio bertandang ke rumah Rianti, akhirnya ia permisi untuk pulang, Rianti sudah hilang dibalik pintu kamarnya saat Rio menyalami Ibu Rianti yang mengantarkannya sampai di depan pintu.
            “Nak, Rio, apa jawaban Rianti tadi?” Tanya Ibu Rianti sambil sedikit berbisik. Ibu Rianti menengok ke belakang memastikan bahwa Rianti sudah menutup pintunya. “Maaf, ya, tadi Tante sempat denger obrolan kalian.” Lanjutnya.
Rio membulatkan matanya, ia terkejut mendengar pengakuan Tante Anis—Ibu Rianti. Ternyata obrolan mereka diselidiki oleh Tante Anis. Rio menggaruk-garuk kepala bagian belakangnya. Mengulas senyuman semampunya. Menutupi rasa sakit yang menggelayuti hatinya sekarang.
            “Rianti cuma bilang, enggak bisa sekarang Tante. Aku ditolak, hehehe.”
            “Sini,” Tante Anis membimbing Rio agar sedikit menjauh dari pintu. “Itu berarti, Rianti berharap padamu, ia juga menyukaimu, hanya saja waktunya belum tepat. Kalimat ‘sekarang’ itu untuk saat ini, tapi ke depannya..” Tante Anis mengedipkan satu matanya. Misterius.
            “Ah, Tante, enggak mungkin, pantes Rianti nolak Rio. Rio cuma cowok biasa. Boy aja yang kemarin nembak Rianti, ditolak, Tante. Padahal, Boy itu paling ganteng di sekolah.”
            “Ada bagian lain yang kamu lupakan, Nak, Rio.”
            “Apa, Tante?” Tanya Rio mulai bingung.
            “Hatimu, mungkin Rianti jatuh cinta karena hatimu, bukan karena wajahmu.”
Seperti embun yang memberi kesejukan, Tante Anis memberikan satu harapan yang sempat padam, Rio berpikir kembali, kalimat penolakan Rianti sama-sama halus ketika menolak Boy maupun Rio, tapi..... Rianti menambahkan kalimat tambahan pada Rio. Ah, apa itu maksudnya Rianti juga sebenarnya memiliki perasaan yang sama pada Rio?
Rio pulang dengan hati gundah, kenapa tadi ia tidak berpikir sejauh itu, ia terlalu takut ditolak, kenapa ia tidak bertanya, kalau tidak sekarang, kapan? Baiklah, setidaknya untuk sekarang nasibnya tidak seburuk Boy, masih ada sisa harapan. [*]

 

Tidak ada komentar :

Posting Komentar