Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Sabtu, 31 Oktober 2015

Kado ke 19

sumber gambar : google


oleh : tyataya
            “Tapi Ma—“
            “Enggak ada kata ta-pi. Segera pulang! Mama butuh bantuanmu.”
            Klik.
Percakapan itu terputus begitu saja. Kiran hampir membanting HP nya sebelum ia teringat bagaimana dulu ia merengek-rengek pada kedua orang tuanya untuk dibelikan HP baru. Suara Mama dari ujung telephone  seperti monster yang akan menghancurkan kebahagiaan Kiran. Ia mendengus panjang. “Mama itu nyebelin banget, sih.” Gerutunya. Seharusnya, hari ini Kiran bisa bersenang-senang. Hari ini kan hari Minggu, udara yang segar dan cuaca yang cerah sangat mendukung untuk berjalan-jalan ke mall atau sekedar pergi ke toko buku membaca beberapa novel favorite Kiran. Bukan malah disuruh pulang.
            “Mungkin ada sesuatu yang mendesak, Ra.” Suara Ayi yang sedikit cempreng menyadarkan Kiran dari rasa kesalnya. Ia melirik sahabatnya itu dengan mata dinanar-nanarkan berharap mendapat pembelaan. Namun, nyatanya Ayi memberi isyarat untuk Kiran segera pulang ke rumah.
            “Sesuatu yang mendesak, ya? Paling cuma Kakak yang penyakit anehnya kumat lagi! Huh.”
Kiran bukan anak tunggal. Walaupun terkadang ia ingin sekali merasakan bagaimana menjadi anak tunggal yang dimanjakan oleh Mama Papanya. Kiran mempunyai seorang Kakak. Namanya Kak Mia. Usianya terpaut satu tahun dan mereka satu sekolah.
Kak Mia adalah orang yang energik. Ceria, tapi sensitif—setidaknya sebelum kecelakaan itu merenggut senyuman Kak Mia.  Kecelakaan dua tahun yang lalu saat lebaran tiba.
Saat itu Papa dan Kak Mia pergi ke Purwakarta untuk menjemput Nenek. Entah mengapa Papa dan Mama memutuskan untuk membawa Nenek agar menghabiskan sisa lebaran Idul Fitri di Bandung saja—Di rumah mereka. Biasanya, mereka sekeluarga pergi ke rumah Nenek. Mungkin Papa dan Mama ingin sesuatu yang berbeda.  Di perjalanan mobil Papa ditabrak begitu keras dari arah belakang. Kak Mia terpental dan Nenek tewas ketika sedang dilarikan ke rumah sakit terdekat.
Papa tidak terlalu mengalami luka yang serius, sementara Kak Mia koma selama satu Minggu di RS karena ada benturan yang cukup keras di kepala bagian sampingnya. Tapi Dokter memastikan bahwa Kak Mia akan segera sembuh.
Kak Mia memang sembuh, tapi ia menjadi lebih sering murung dan sering berteriak-teriak. Kadang menangis, kadang tertawa. Kiran menduga urat kewarasan Kak Mia pasti sudah terputus. Tapi ternyata perkiraan Kiran salah. Dokter mendiagnosa bahwa Kak Mia hanya trauma dengan kecelakaan yang merenggut nyawa Nenek itu.
Kiran segera mempercepat langkah ketika memasuki gang rumahnya. Dari jauh Kiran bisa melihat Mama tengah mondar-mandir di teras rumah. Menggigit-gigit tangannya dengan wajah yang gelisah. Kiran menghampiri Mama dengan nafas terengah-engah.
            “Ma.” Suara Kiran pelan sekali bahkan Kiran yakin semut di rumahnya pun tak bisa mendengar suaranya dengan jelas.
Mama menoleh cepat saat menyadari kehadiran Kiran. Mama memeluk Kiran sesaat lalu mengambil tas yang tergelak di atas meja.
            “Mama pergi dulu, ya. Obat Kak Mia abis, tolong jagain dulu Kak Mia. Sayang.” Perintah Mama lembut namun dengan nada yang sedikit gemetar.
Kiran hanya bisa mengangguk. Lalu matanya mengikuti langkah Mama yang tergesa-gesa.
Kiran langsung naik ke lantai dua, tempat kamarnya dan kamar Kak Mia berada. Pintu kamar Kak Mia tertutup rapat. Di bagian depan pintu ada angka 19 terpampang jelas bersama foto Kak Mia yang sedang selfie. Kak Mia memang menggilai angka 19. Di semua Bio akun sosialnya selalu menulis angka 19.  Lihat saja koleksi sepatunya ada 19, nomor absen di sekolah ke 19 dan sebentar lagi Kak Mia berulang tahun ke-19! Benar-benar menyebalkan. Kiran tahu pasti Kak Mia akan meminta kado terbaiknya di angka 19! Sementara ia, untuk dibelikan HP baru saja butuh kesabaran satu bulan... Terkadang Kiran berharap kenapa tidak dia saja yang sakit agar bisa dimanja oleh Mama dan Papa.
 Kiran memegang gagang pintu ragu-ragu, lalu memutarnya perlahan.
Kiran bisa melihat Kak Mia tengah duduk sambil menundukkan kepalanya. Rambutnya yang panjang menutupi sebagian wajahnya. Kak Mia memakai baju kemeja putih yang kebesaran dengan celana tidur berwarna merah marun. Kedua tangannya diikat masing-masing di samping kanan kiri ranjangnya. Akhir-akhir ini Kak Mia sering mengamuk dan melemparkan barang-barang yang ada di dekatnya. Dengan terpaksa Mama mengikat Kak Mia.
Kiran menaruh tas sekolahnya. Ia meraih salah satu kursi yang ada di meja rias Kak Mia. Kiran mengambil posisi duduk di samping kiri Kak Mia.
Kira-kira Kiran terdiam selama hampir lima menit, ia memperhatikan raut wajah Kak Mia yang sebagian tertutupi rambut panjangnya. Kak Mia jadi lebih kurus. Wajahnya tirus, pucat, gigi-giginya selalu gemelutuk. Dan aroma tubuhnya.... Anyir.     
Kiran memang tidak mirip dengan Kak Mia. Bahkan di sekolah tidak ada yang tahu bahwa Kak Mia adalah Kakaknya Kiran. Kiran lebih mirip Ayahnya. Sifat Kiran cuek. Sementara Kak Mia sensitif.
            “Kak, Nenek meninggal bukan karena Kakak, kok.”
            Hening... Tidak ada jawaban, Kiran menghembuskan nafas.
            “Kakak enggak bosen, ya, minum obat terus?”
            Hening.. Kak Mia tetap menunduk dengan wajah yang menyedihkan.
 “Kak Mia. Aku capek tahu ngurusin Kak Mia terus, kalau salah diomelin Mama! Bisa enggak sembuh aja! Kak Mia itu ngerebut kebahagiaanku!” Kiran mengatakannya dalam satu tarikan nafas, lalu Kiran merasakan ada sesuatu yang berkelebat di sampingnya. Ia mengerjap-ngerjapkan mata. Menoleh ke berbagai sudut kamar. Lalu perhatiannya tertuju pada Kak Mia. Kak Mia menitikan air mata. Lalu mulai berkata lirih, “di belakangmu.”
Sontak Kiran melihat ke belakang. Tidak ada apa-apa. Tapi, jantung Kiran berdebar lebih cepat. Tengkuknya bergidik.
***
            “SELAMAT ULANG TAHUN KAK MIA.” Suara Kiran parau sekali. Berapa kali ia menahan air matanya agar tak keluar lagi. Ia tersungkur di atas tanah merah yang masih belum kering.
Beberapa pelayat sudah berjalan pergi meninggalkan Kiran dan kedua orang tuanya. Ayi yang ikut mengantarkan Kak Mia ke peristirahatannya yang terakhir terlihat begitu sedih, Ayi kenal Kak Mia yang selalu baik padanya.
Hari ini tepat Kak Mia berulang tahun yang ke 19. Mama membawa satu ikat bunga mawar merah kesukaan Kak Mia. Lalu meletakkan di atas batu nisan Kak Mia dengan isakan yang tak kunjung berhenti. Papa berusaha memegangi bahu Mama. Menguatkan. 
Kiran bisa mendengar meskipun samar-samar Mama berkata lirih, “Kado ke-19 mu dikabulkan, Sayang.”
Kiran tahu, ada sesuatu yang tidak beres dari kematian Kak Mia. Kiran tahu........ Tapi, Mama dan Papa merahasiakannya.
Sesuatu yang Mama Papa Kiran sembunyikan mungkin ada sangkut pautnya dengan kematian Kak Mia. Karena itu sepanjang perjalanan pulang, di mobil Kiran berusaha memikirkan kalimat pembukaan apa yang cocok untuk memulai menanyakan tentang Kak Mia.
Melihat Kiran yang gelisah di bangku belakang mobil..... Mama menitikan air mata, dan mulai bercerita.
            “Kiran. Keluarga kita punya kemampuan khusus yang harus diturunkan pada setiap keluarga. Nenek memilihmu, karena kamu orang yang berani. Tapi, Kak Mia yang mengetahui itu menolaknya. Katanya, biar ia saja yang memiliki kemampuan itu. Kak Mia takut hidupmu berantakan. Harusnya ketika itu Nenek mengajari dulu Kak Mia bagaimana cara mengendalikan kemampuan itu. itu sebabnya Mama dan Papa memutuskan untuk Nenek dibawa ke rumah kita, tapi kecelakaan itu.... merenggut Nenek. Dan Kak Mia enggak sempat diajari Nenek.” 
Kiran terkesiap, “kemampuan khusus apa, Ma?” Tanya Kiran setengah tidak percaya.
            “Bisa melihat makhluk astral, seperti.. Hantu.”
Tengkuk Kiran bergidik. Ia mulai merasakan sekujur tubuhnya mendingin saat mendengar hantu. Membayangkan Kak Mia setiap hari bisa berinteraksi dengan makhluk seperti itu. YA TUHAN! Pekik Kiran dalam hati.
            “Dan karena Kak Mia enggak kuat, akhirnya ia meminta kado ke-19 pada Mama dan Papa untuk......” Lanjut Mama sambil terisak. Air matanya kembali berlinangan.
            “Sudahlah, Ma. Ikhlaskan Mia.” Papa mengusap-ngusap bahu Mama.
Kiran tahu bagian yang membuat Mama menitikan air mata, Kado ke-19 itu....... Mengakhiri hidupnya sendiri? Kiran ikut menitikan air mata. Apa yang telah Kiran lakukan selama ini? Kak Mia yang Kiran benci telah mengorbankan hidupnya sendiri..
                                                                        END

1 komentar :