Malam
kian merayu sepi, menghadirkan kesunyian pada dinding-dinding kamar Rio. Jarum
jam sudah menunjukkan pukul 23:30 WIB, semua orang di rumah itu sudah tertidur
lelap dan mulai terbang ke alam mimpi mereka masing-masing. Sementara kamar Rio
masih terang-benderang, rasa kantuk tak kunjung hinggap meskipun matanya sudah
berapa kali ia coba pejamkan, ada rasa bimbang yang menjalar lebih dari senyap
malam ini, hatinya terus bertanya-tanya, semua yang terjadi di sekolah hari ini
sudah cukup membuat Rio tidak bisa berpetualang ke alam mimpi. Pikirannya terus
tertuju pada Rianti—Gadis yang memiliki lesung pipi, dengan mata cokelat yang
bulat—yang menjadi pusat perhatian seluruh siswa cowok di kelas Rio—termasuk
Rio. Bagi Rio, Rianti adalah satu-satunya cewek yang bisa membuat jantung Rio
berdetak tidak seperti biasanya, Rianti telah membawa Rio pada perasaan yang di
namakan cinta, Ah, cinta. Cinta seperti apa yang tidak
pernah berani diungkapkan itu? Sebenarnya Rio nyaman-nyaman saja selama ini
memendam perasaan pada teman sekelasnya itu, tapi melihat kejadian tadi siang
di sekolah, Boy—cowok terkenal paling keren di sekolah, telah mengungkapkan
perasannya pada Rianti. Kejadiannya berlangsung pada saat bel istirahat pertama,
saat itu Rianti masih berada di dalam kelas sehingga memberikan kesempatan bagi
Boy untuk berbicara. Boy begitu optimis aksinya akan menuai reaksi romantis di
benak Rianti apalagi ia membawa setangkai bunga mawar merah, dan cokelat—yang
menurut kaum hawa itu adalah pemberian romantis. Rio yang kebetulan hari itu
sedang tidak ingin keluar kelas menyaksikan drama romantis yang dilakukan Boy.
“Rianti,”
katanya dengan nada dilembut-lembutkan, padahal menurut Rio suara Boy lebih
mirip seekor katak yang terinjak traktor. “Aku suka sama kamu, mau enggak jadi
pacarku?” Mata Boy bersinar-sinar di bawah sinar matahari yang masuk ke
celah-celah jendela kelas.
Rio sempat mencuri-curi pandang pada
Rianti, ia melihat Rianti tersenyum, tapi lesung pipinya tidak tampak menghiasi
pipinya yang bersih. Akhirnya, di batas terakhir harapannya, Rio pasrah
cintanya akan kandas terdahului oleh lelaki tampan bernama Boy. Dan ia sadar ia
tak setampan dan sepopuler Boy, tidak ada alasan bagi Rianti untuk menolak Boy.
“Maaf,
Boy, aku enggak bisa terima cinta kamu.”
Boy
terperangah.
“Kenapa?
Aku kurang baik? Aku kurang ganteng? Atau aku kurang kaya?”
“Enggak,
justru kamu lebih dari itu.”
“Lho, terus kenapa? Kamu cewek aneh!”
“Maaf
Boy, kita temenan aja, ya. Sekali lagi, maaf.” Begitu kira-kira kalimat
penolakan yang diucapkan Rianti pada Boy. Cukup halus. Bayangkan!!. Betapa terkejutnya Rio yang mendengar langsung saat
itu di kelas.
Rianti,
cowok seperti apa yang sebenarnya kamu inginkan? Rianti sudah menolak hampir
separuh cowok anak kelas Tiga di sekolah mereka. Dan sekarang, Boy yang hampir
setara dengannya juga ia tolak?
Beberapa
anak di kelas yang menyaksikan kejadian itu terlihat kecewa mendengar jawaban
Rianti, padahal jika Rianti menerima cinta Boy. Mungkin mereka bisa menjadi
pasangan yang populer dan paling romantis di sekolah. Mereka menyayangkan
keputusan Rianti, kecuali Rio. Hatinya bersorak-sorai.
“Rianti, sayang, apa mungkin kamu
menykaiku? Apa mungkin kamu menungguku untuk menyatakan perasaan ini? Batin
Rio terus menggeliat, hati kecilnya ingin segera mengungkapkan perasaan yang dimilikinya, sebelum orang lain
mendahuluinya lagi karena toh Rianti cukup mengenal Rio dengan baik. Mereka
sering terlibat dalam satu kelompok, satu organisasi, satu kesukaan, satu
kebiasaan—Dan satu...., satu apalagi? Itu semua belum cukup untuk meyakinkan
hati Rio bahwa Rianti juga menyimpan perasaan yang sama. Apalah daya, satu sisi
Rio merasa minder dengan segala apa yang menempel di dirinya, Boy saja yang
menurutnya sudah hampir mendekati kata sempurna ditolak oleh Rianti. Apalagi Rio.
“Tok..Tok..Tok...” Terdengar suara
pintu diketuk dari luar, Rio mengerjap-ngerjapkan matanya, mencoba
mengembalikan pikirannya ke dunia nyata. “Rio, kamu udah tidur?
Rio bangkit dari kasurnya dengan enggan untuk
membuka pintu kamarnya.
“Kenapa,
sih, Bang. Jam segini waktunya tidur.
Masih aja ngetuk-ngetuk pintu kamar orang, ganggu tahu!!” Gerutu Rio kesal,
Raka—Abangnya Rio memang sering mengganggu Rio.
“Kamu
sendiri juga belum tidur.” Balas Raka sambil berjalan melewati Rio tak peduli.
“Insom,
Bang.”
“Oh,””
jawab Raka cuek, kemudian ia mulai membuka laptop milik Rio yang tergelatak
begitu saja di atas kasur, “Abang emang tadi udah tidur, cuma keinget belum
ganggu kamu jadi ke sini. Hahaha.”
Rio
mendengus sebal, Abang satu-satunya itu memang selalu mengganggunya setiap
malam, atau lebih tepatnya setiap ia tidak ada pekerjaan. untuk sesaat Rio
berpikir mungkin Abangnya bisa membantu memberikan solusi bagi kemelut hatinya.
Menurutnya tidak ada salahnya bercerita sedikit.
“Bang..”
“
Hmmm..” Gumam Raka mulai sibuk dengan games di laptop Rio.
“Abang
pernah jatuh cinta enggak, sih,
bang?” Tanya Rio ringan namun berhasil mencuri perhatian Raka. Raka menoleh
dengan cepat, tersenyum misterius.
“Pernah,
bahkan sering.”
“Kok
sering Bang? Emangnya ceweknya ada banyak?“
“Selera
Abang berubah-ubah. Tapi kali ini Abang lagi pacaran sama si Silvia. Yang kemarin Abang tunjukin fotonya. dia itu beda.
Manja-manja gimana gitu, Kamu lagi naksir cewek, ya?”
Rio
mengangguk malu-malu.
“Terus kenapa kok kayanya gelisah gitu? Ditolak? Yaelah Yo, namanya ditolak mah udah biasa.”
“Gini,
Bang—“
“Jangan
khawatir. Masih banyak cewek lain!” Belum sempat Rio menjelaskan kalimatnya.
Raka menyambar.
“Tapi
aku maunya Rianti, Bang, Rianti Darmawan.”
batin Rio menegaskan kembali.
“Bang, dengerin
dulu, belum selesai bicaranya!” Rio mendengus kesal karena dari tadi bicaranya
selalu dipotong Raka. “Aku belum ngungkapin perasaanku ke dia, Bang. Namanya
Rianti, dia teman sekelas, aku enggak punya keberanian untuk itu. takut
ditolak, soalnya tadi siang aja Rianti udah ditembak cowok lain, tapi untunglah
Rianti nolak.”Papar Rio.
“Ya,
berarti dia suka ke kamu.”
Seandainya
perkataan Abangnya itu benar.
“Belum
tentu, Bang.” Sanggah Rio lemas.
“Gini
ya, Yo, setiap cinta itu ada kadar perjuangannya masing-masing, kamu enggak usah
takut ditolak sama cewek yang kamu suka. Yang penting kamu udah berjuang buat
ngungkapin perasaan yang kamu punya. Urusan diterima atau ditolak mah belakangan.”
Sesuatu
yang tadinya gelap kini menjadi terang, ah, Abang Rio memang selalu punya
seribu kata-kata untuk merayu wanita, tapi, dia tidak pernah kehilangan
kata-kata untuk menyemangati dirinya sendiri—juga adiknya ketika ditolak
seorang cewek.
***
Pagi-pagi sekali, Rio
berniat mengikuti saran Raka. Mengungkapkan perasanya pada Rianti. Bila perlu dengan
melibatkan kedua Orang Tua Rianti, semoga cara ini lebih manjur dari sekedar
bunga dan cokelat. Setelah hampir setengah jam mencari rumah Rianti, akhirnya
motor Rio berhenti di salah satu rumah bercat biru. Rio kembali melihat kertas
berisi alamat rumah Rianti. Ia mencocokkan nomor yang tertulis di kertas yang
diberikan oleh teman dekatnya Rianti. No 13B. Tepat! Segera ia memencet
bel. Berulang kali Rio merapikan bajunya yang sebenarnya sudah rapi itu. Irama
jantungnya terus berdetak tak karuan, aliran darahnya berdesir-desir. Ia bisa
merasakan keringat dingin mulai membasahi telapak tangannya saat ibu Rianti
mempersilakannya masuk. Ibu Rianti terlihat senang atas kedatangan Rio, hal itu
terbukti dengan hidangan ringan dan minuman yang disajikan oleh Ibu Rianti.
Sambil mengobrol menemani Rio yang saat itu tengah gelisah menunggu Rianti.
Apalagi ditambah pertanyaan terakhir yang menciutkan keberanian Rio.
“Nak
Rio ini pacarnya Rianti, yah?” Tanya Ibunya Rianti dengan lembut tak
henti-hentinya Ibu Rianti tersenyum saat memandang Rio yang malu-malu.
“Bukan, Rio bukan pacar
Rianti, kita cuma temenan, Tante.” Jawab Rio gelisah, ia takut jawabannya salah
atau berlebihan.
“
Oh,” Ibu Rianti membulatkan bibirnya, terlihat matanya yang bersinar-sinar
tadi, malah meredup saat mendengar jawaban Rio. “Tante pikir kamu pacarnya,
soalnya belum pernah ada cowok yang main ke rumahnya Rianti. Hehehe. Tunggu
sebentar, ya. Tante panggil Rianti nya dulu.
Kok lama sekali, ya, anak itu.”
Selang beberapa menit
Rianti turun dari kamarnya, raut wajahnya kontras dengan yang selama ini
dilihat Rio di sekolah. Terlihat sedikit judes. Ia masih memakai baju tidur dan
rambutnya diikat dengan asal. Tapi, ia masih tetap terlihat cantik dengan wajah
naturalnya. Rianti berjalan dengan
enggan lalu memilih duduk di kursi yang berbeda dan agak jauh dari Rio. Namun tetap berhadap-hadapan dengan Rio. Karena
sudah ada Rianti, Ibunya pergi meninggalkan mereka mengobrol berdua. Untuk
sesaat keheningan menyelimuti keduanya. Atmosfer di ruangan itu mendadak dingin.
Hampir saja Rio kehilangan oksigen untuk bernafas.
“Kalau
mau bertamu liat-liat jam dulu.”
Rio tertohok mendengar
kalimat pembuka yang diucapkan Rianti. Ia mengumpat dirinya sendiri mengapa ia
bertamu terlalu pagi. Ini hari Minggu, jelas Rianti ingin sejenak bermalas-malasan
mengingat jadwalnya di sekolah sangat padat.
“Maaf,
aku enggak bermaksud ganggu kamu.”
Rianti menghela nafas
sejenak.
“Oke, sekarang kamu mau apa ke sini?” Tanyanya
tanpa basa-basi. Raut wajahnya benar-benar tidak menunjukkan keramahan.
Rio menguatkan hati. Mood Rianti sepertinya kurang baik hari
ini, ah. Rio salah memilih hari. Mau apa? Berbalik pun rasanya tak
mungkin lagi. Dengan mengumpulkan sisa-sisa keberanian yang berserakan Rio
memberanikan berbicara apa tujuannya kemari.
“Baiklah
sebelumnya, maaf kalau kedatangan aku kemari mengganggu segala—”
“Enggak
usah seformal itu, intinya aja, Yo.” Sela Rianti pedas.
Rio menarik nafas
dalam-dalam. Ya Tuhan, Kenapa Rianti
berubah menjadi monster?
“Iya,
Maaf,” Rio mengusap wajahnya dengan kedua tangan yang tadi penuh dengan
keringat, ia ingin membuat hatinya mencair. “Aku..., aku ke sini, gini, aku tuh.
Aku.” Rio benar-benar kehilangan kosakata untuk mengungkapkan apa yang ada di
hatinya.
“Yo,
kamu mau apa sih sebenarnya? Dari tadi bicara kamu muter-muter, kamu mau
nanyain tugas, ya?”
“Bukan.”
“Atau
mau nyuruh aku ngerjain tugas kamu?”
Rio
menggeleng.
“Terus?”
Alis Rianti bertautan, ia semakin tidak memahami kedatangan Rio yang tiba-tiba.
Apalagi dengan cara bicaranya yang tidak biasanya seperti ini.
“Aku
cuma mau ngomong jujur,” Rio menunduk, seolah ia ingin bersembunyi dibalik
tatapan tajam Rianti, “aku—“ Katanya, suara Rio tenggelam, ia bahkan bisa
mendengar sendiri deru jantungnya.
“Ya
Tuhan, Rio! Please, aku enggak punya
banyak waktu buat tebak-tebakan sepagi ini!”
Rio memejamkan matanya
sejenak, setiap cinta punya kadar
perjuangannya masing-masing, enggak usah takut ditolak, Yo. Kamu sudah
berjuang. Kata-kata Abangnya terngiang-ngiang. Rio menarik nafas sekali
lagi, kali ini lebih tenang.
“Aku sayang sama kamu Ri, lebih dari sekedar teman. Kamu
mau jadi pacarku?”
Rianti tersendat
mendengar kalimat Rio yang begitu tiba-tiba. Sepagi ini, ia mendapat satu
kejujuran dari teman sekelasnya yang selama ini selalu dengan hati-hati jika
berbicara padanya, yang selama ini tidak pernah menyinggung tentang perasaan.
Dan
cinta memang bisa datang kapan saja.
“Rio, aku hargain keberanian kamu ke sini. Aku hargain
semua perasaan kamu yang kamu punya itu, aku.....”
Rio melihat senyum
Rianti seperti saat Boy menyatakan cintanya pada Rianti, tapi, kali ini, ia
melihat senyuman yang dibarengi lesung pipinya. Memesona, sungguh! Seperti
senyuman yang tidak dibuat-buat, ah,
Rianti.
“Aku, Apa?” Tanya Rio.
“Aku enggak bisa jadi pacarmu sekarang.”
Rio menunduk, ia tahu, ia harus sudah siap menerima
penolakan. Kini, ia tahu, bagaimana perasaan Boy ketika cintanya ditolak.
“Enggak apa-apa, aku bisa terima keputusan kamu,
setidaknya aku udah ungkapin perasaanku yang sebenarnya.”
“Maksudku...., maksudku untuk sekarang aku enggak bisa,
aku mau fokus dulu belajar, aku mau bahagiain dulu Mama Papa.”
***
Setelah hampir satu
setengah jam Rio bertandang ke rumah Rianti, akhirnya ia permisi untuk pulang,
Rianti sudah hilang dibalik pintu kamarnya saat Rio menyalami Ibu Rianti yang
mengantarkannya sampai di depan pintu.
“Nak, Rio, apa jawaban Rianti tadi?” Tanya Ibu Rianti
sambil sedikit berbisik. Ibu Rianti menengok ke belakang memastikan bahwa
Rianti sudah menutup pintunya. “Maaf, ya, tadi Tante sempat denger obrolan
kalian.” Lanjutnya.
Rio membulatkan
matanya, ia terkejut mendengar pengakuan Tante Anis—Ibu Rianti. Ternyata
obrolan mereka diselidiki oleh Tante Anis. Rio menggaruk-garuk kepala bagian
belakangnya. Mengulas senyuman semampunya. Menutupi rasa sakit yang
menggelayuti hatinya sekarang.
“Rianti cuma bilang, enggak bisa sekarang Tante. Aku
ditolak, hehehe.”
“Sini,” Tante Anis membimbing Rio agar sedikit menjauh
dari pintu. “Itu berarti, Rianti berharap padamu, ia juga menyukaimu, hanya
saja waktunya belum tepat. Kalimat ‘sekarang’ itu untuk saat ini, tapi ke
depannya..” Tante Anis mengedipkan satu matanya. Misterius.
“Ah, Tante, enggak mungkin, pantes Rianti nolak Rio. Rio
cuma cowok biasa. Boy aja yang kemarin nembak Rianti, ditolak, Tante. Padahal,
Boy itu paling ganteng di sekolah.”
“Ada bagian lain yang kamu lupakan, Nak, Rio.”
“Apa, Tante?” Tanya Rio mulai bingung.
“Hatimu, mungkin Rianti jatuh cinta karena hatimu, bukan
karena wajahmu.”
Seperti embun yang
memberi kesejukan, Tante Anis memberikan satu harapan yang sempat padam, Rio
berpikir kembali, kalimat penolakan Rianti sama-sama halus ketika menolak Boy
maupun Rio, tapi..... Rianti menambahkan kalimat tambahan pada Rio. Ah, apa itu
maksudnya Rianti juga sebenarnya memiliki perasaan yang sama pada Rio?
Rio pulang dengan hati
gundah, kenapa tadi ia tidak berpikir sejauh itu, ia terlalu takut ditolak,
kenapa ia tidak bertanya, kalau tidak sekarang, kapan? Baiklah, setidaknya
untuk sekarang nasibnya tidak seburuk Boy, masih ada sisa harapan. [*]
Tidak ada komentar :
Posting Komentar