Aku
masih ingat betul, saat itu aku masih duduk di kelas satu Sekolah Dasar (SD).
Usiaku tujuh tahun. Aku tidak tahu kapan keinginan itu datang. Aku ingin punya
seorang adik. Ya! Aku anak tunggal yang selalu dimanja. Apa-apa dikabulkan,
tidak pernah sama sekali disela. Aku ingin membeli boneka, gimbot, sepeda,
jalan-jalan berkunjung ke salah satu wisata di kota Subang—Selalu dikabulkan
oleh kedua orang tuaku. Mereka benar-benar memperlakukanku layaknya permata.
Hingga
suatu hari. Aku melihat sebuah keluarga yang menyenangkan. Bukan berarti
hidupku tidak bahagia. Kalian semoga memaklumi bahwa saat itu aku masih
anak-anak.
Aku
melihat kakak beradik, mereka menggunakan sepeda berwarna merah. Kakanya dengan
telaten membimbing adiknya yang sedang belajar menggunakan sepeda. Kakanya
berseru
“Ayo
dik, jangan takut jatuh. Kayuh terus sepedanya kamu pasti bisa. Kakak
disampingku.”
Si
adik tersebut dengan keringat bercucuran, susah payah menyeimbangan sepeda. Aku
melihat raut wajahnya seolah tidak pernah takut untuk jatuh. Ada kakanya
disampingnya.
Setelah
kejadian itu. Berhari-hari aku melewati rasa gelisah. Cemburu. Aku cemburu pada
sesuatu yang baru. Seandainya aku menjadi seorang kakak tersebut memiliki adik
kecil yang manis. Menjaganya, membantunya dalam kondisi apapun.
Rasanya,
aku didera cemburu saat itu. Dipikranku, memiliki seorang adik adalah salah
satu hrga yang tidak bisa digantikan dengan apapun. Kita bisa berbagi hal
menyenangkan maupun sebaliknya, karena kita punya saudara. Tidak sendirian.
Maka,
setelah beberapa hari aku diserang rasa cemburu aku memutuskan untuk meminta
kepada ibuku untuk dibuatkan seorang adik. Lucu sekali, ketika teman sekolahku
tidak ingin mempunyai seorang adik. Mereka menolak mentah teoriku tentang mekanisme
berbagi kepada saudara sekandung. Katanya, jika punya adik lagi. Itu berarti
kita harus siap untuk diduakan. Kita harus siap disalah-salahkan. Aku tidak peduli. Aku meminta kepada
ibuku untuk tetap dibuatkan seorang adk. Ibuku memahami semuanya, beliau
berbicara padaku lembut.
“Nak,
ibu juga ingin memberikanmu seorang adik. Adik kecil yang lucu dan
menggemaskan. Tapi nanti ya kalau kamu sudah besar.”
“Kapan
bu?” Aku bertanya penasaran. butuh kepastian.
“Nanti
setelah kamu lulus sd saja. bagaimana?” Tawar ibu.
Aku
mengangguk. Setuju.
Setelah
itu aku tidak pernah banyak meminta. Hanya menunggu. Sampai aku lulus SD. Aku
tidak tahu apakah ibuku lupa perihal aku yang meminta seorang adik atau
bagaimana. Aku tidak tahu. Akhirnya, karena saking inginnya punya adik kecil.
Ini ide gila yang pernah aku lakukan. Aku menyembunyikan pil KB milik ibu. Pil
itu berwarna putih isinya kurang lebih 12 pil. Mirip permen susu yang sering
aku beli saat istirahat disekolah. Bedanya, pil itu bulat dan setiap stripnya
berukuran beda-beda. Dari yang diamaternya kecil sampai agak besar. Ah, aku
tidak paham. Apalagi saat itu ketika membaca keterangan dalam kemasannya.
Setelah
lebih dari satu bulan. Ibu sama sekali tidak memiliki tanda-tanda hamil. Tidak
ada kabar gembira yang setiap hari aku nantikan. Misalnya, “Nak. Kamu sebentar
lagi akan punya adik.”
Tidak
ada. Harapanku hangus. Saat aku melihat ibu ternyata punya persediaan pil KB
tersebut bukan di satu tempat saja.
Aku
pasrah. Sampai aku menamatkan sekolahku. Sampai aku masuk SMA kelas satu.
Karena kegiatan sekolah yang luar biasa padat. Serta, engkau tahu masa-masa SMA
adalah masa yang paling menyenangkan. Karena pengetahuanku semakin bertambah
usia ibuku sudah tidak muda lagi. Terlalu beresiko kalau ibu hamil lagi.
Terlebih ibu memiliki penyakit darah tinggi dan wasir. Sudah terhitung tiga
kali ibu dioperasi karena penyakit wasir. Seperti cinta yang selalu hadir dalam
kehidupan umat manusia. Memori lama yang berisi impian memiliki seorang adik
selalu hadir pula. Aku masih menyimpannya dan berharap Allah mengabulkan
diam-diam doaku yang tak pernah terucapkan itu.
Hingga
suatu hari. Aku masih ingat, saat itu aku duduk dikelas 2 SMA umurku 17 tahun.
Baru saja aku pulang sekolah melihat ibuku sudah berbaring lemas dikamar
ditemani tanteku. Mereka berdua menangis. Lalu memelukku erat.
“Selamat
ya, sebentar lagi kamu akan punya adik.”
Lirih tanteku. Air matanya berlinangan. Tapi, aku tidak mendengarnya
langsung dari ibu. Ibu hanya diam. Membisu. Wajahnya yang bercahaya redup dan
terlihat ketakutan.
Aku
menemani Ibuku pergi ke bidan untuk memeriksa kandungan. Bidan itu cantik
sekali usianya mungkin lebih muda dari ibu. Bidan itu berpesan kepada ibu agar
menggugurkan kandungannya karena usia ibuku beresiko. Katanya, tidak apa-apa digugurkan
mungpung usia kandungan ibu masih satu minggu. Ditambah, Ibu yang akhir-akhir
ini sering sakit-sakitan karena penyakit komplikasi darah tinggi dan wasir.
Mungkin,
kalian bisa memahami keputusan bidan tersebut saat itu. Toh, segumpal darah
yang ada pada rahim ibu belum ditiupkan ruh. Tapi tidak denganku. Aku sudah
menunggu adik kecil selama tujuh belas tahun lamanya. Lalu, dengan keputusan
aklamasi harus digugurkan? Keputusan macam apa itu. Aku tidak terima. Aku
menangis memohon kepada ibu agar tidak mengikuti keputusan bidan tersebut. Ibu
tidak mendengarkanku. Juga Bapakku. Terlebih aku tahu ibu sudah berusaha
menggugurkan kandungannya dengan cara makan nanas muda, melakukan aktivitas
berat. Dan yang terakhir meminum kapsul berwarna merah yang—entah apa. Kapsul
itu yang membuat Ibu harus pergi ke rumah sakit karena berdampak pada penyakit
wasir dan darah tinggi beliau.
Aku
kesal sekaligus sedih. Aku tidak ingin melihat ibu sakit lagi. Tapi aku sedih
dengan keputusannya. Apa kabar adikku yang usianya belum satu bulan? Ah, aku
tahu Allah menjaganya. Aku tahu.
Tujuh
bulan berlalu. Kandungan ibuku semakin membesar. Ini adalah sebuah keajaiban,
kandungan ibuku tetap bertahan. Sampai suatu hari. Tekanan darah ibu tinggi dan
wasirnya kambuh lagi. Rasanya selama tujuh bulan itu keluargaku sedang ditempa
habis-habisan. Keluar masuk rumah sakit, sampai melakukan operasi lagi sampai
pergi ke kota Bandung karena rumah sakit di Subang tidak sanggup lagi.
Kalau
sudah begini, aku merasa aku adalah orang yang paling egois. Harusnya, aku juga
mengikuti saja perintah bidan itu dulu. Aku tidak ingin kehilangan ibu.
Sungguh.
Hari
itu adalah hari dimana ibuku kembali ke ruangan operasi. Bukan operasi wasir.
Melainkan operasi cesaar.
Mengeluarkan adikku.
Ujian
lagi. Kawan. Allah mengujiku lagi. Ibuku tidak sadarkan diri. Dan bayinya
kekurangan gizi. Kata dokter ada sumbatan dalam usus si bayi yang menyebabkan
cairan atu nutrisi apapun tidak masuk ke dalam perutnya. Selang alat-alat
dokter sudah menempel di tubuh adikku. Kalau dalam waktu satu minggu adikku
tidak dioperasi mengeluarkan sumbatan terebut. Maka nyawanya tidak akan
tertolong lagi. Kira-kira begitu penjelasan dokter.
Aku
melihat adikku dalam ekubator.
Tubuhnya benar-benar kecil. Matanya tertutup. Warna kulitnya kuning bersih. Dan
wajahnya bercahaya. Ya Allah, ini adalah doa-doa yang tak pernah lelah aku
panjatkan kepada-MU. Ini adalah hadiah selama tujuh belas tahun aku menanti.
Haruskah Engkau renggut kembali?
Bapak
sudah kebingungan mencari uang untuk biaya rumah sakit. Tidak apa. Aku punya
tabungan selama aku SMA. Itu tabungan yang rencananya untuk biaya aku kuliah,
adikku lebih berharga. Tapi tetap saja tidak cukup. Sampai pada suatu pagi
Bapak sudah pasrah. Membawa ibu dan adikku pulang saja. Ibu memang sudah
siuman. Kondisinya semakin hari semakin membaik. Tapi adikku sebaliknya.
Awalnya, dokter tidak mengizinkan. Bapak memaksa. Akhirnya, dokter mengizinkan
kami keluar dari rumah sakit tapi esok hari.
Pada
malam terakhir yang dingin. Aku tertidur di teras rumah sakit dengan beralaskan
tikar bersama bapak. Kami menjaga ibu. Aku membangunkan bapak. Rasa-rasanya,
aku ingin pergi ke masjid malam itu. Entah kenapa tiba-tiba kakiku tergerak
kesana. Bapak meng-iyakan. Kami mencari masjid yang dekat dengan rumah sakit
karena aku memaksa pergi ke masjid. Bukan ke mushola rumah sakit.
Setelah
lima belas menit mencari, kami menemukan masjid tersebut.
”Aku
mau sholat tahajud pak.” Kataku akhirnya. Aku selalu baik-baik saja dihadapan
siapapun. Bapak mengangguk. Beliau juga mengambil air wudhu. Dan mulai larut
dalam sholat.
Engkau
tahu, dalam sholatku malam itu. Aku tidak meminta apapun. Aku hanya meminta agar
Allah tidak jauh-jauh dariku. Rasanya, saat keningku bersujud. Malam itu, Allah
sedang memelukku erat-erat. Aku menangis dalam keheningan. Terus menangis.
Terus menangis. Mungkin orang-orang melihat aku baik-baik saja menghadapi ujian
dari-NYA. Tapi, malam itu aku benar-benar mengadu. Betapa lemahnya aku. Betapa
kerontanya jiwaku. Betapa aku tidak bisa berbuat apa-apa tanpa Allah.
Maka, sesungguhnya bersama
kesulitan ada kemudahan, sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. (Qs
Al-Insyirah 5-6).
Pagi
harinya Bapak membawa Ibu dan adikku keluar rumah sakit karena tidak sanggup
dengan biaya yang terus membengkak. Nanti, kata Bapak diobati dirumah saja.
diobati pake apa? Pikirku. Tapi. Aku tidak bisa berbuat banyak. Hanya menurut. Seminggu
berlalu. Subhanallah. Adikku baik-
baik saja. bahkan, semenjak ia dibawa pulang dan diberi ASI. Ia bahkan mau
menurut. Tidak dimuntahkan saat dirumah sakit dulu.
Aku
memeluk ibuku erat-erat. Tidak banyak bicara.
Terimakasih,
ibu sudah mau berjuang untuk memberikan hadiah ini diumurku yang tujuh belas
tahun. Terimakasih Bapak atas keringat-keringat yang engkau keluarkan untuk
tetap bertahan tanpa meminjam uang kepada orang lain. Dan, terimakasih atas
hatiku. Atas rasa sabar ini selama tujuh belas tahun lamanya. Terus meminta dan
berharap. Aku tahu Allah dekat bahkan lebih dekat dari nadiku sendiri.
Ternyata,
bukan hanya di sinetron saja yang punya ending
bahagia. Apabila kalian terus berusaha, berdoa, meminta tanpa lelah terus
dan terus. Happy ending itu ada.
Karena Allah pemilik segala kisah.
Kalian
pasti bertanya, adikku perempuan atau laki-laki. Hehehe.
Aku
punya seorang saudara; ia bagiku pangeran kecil yang kelak akan menjadi pembela
saudaranya. Menjaga kedua orang tuanya. Dan berguna bagi sesama.
Namanya;
Muhammad Arizki Setiawan.
Aku
tidak sendirian lagi. Aku bisa berbagi.
![]() | |
Photo from website https://azizahsl.wordpress.com/2013/12/31/kakak-atau-tante/ |
Bandung,
2016
tyataya
Wah selamat ya mbak, akhirnya dapat adik juga. Terus terang punya saudara itu lebih mengasyikkan daripada sendiri mbak.
BalasHapusiyaa terimakasih hehehee. memang begitu, lebih asik, lebih seru dan menggemaskan punya saudara. hehehe yang jelas enggak ngerasa kesepian.
HapusSemoga adiknya selalu sehat dan bisa tumbuh dengan kuat ya...
BalasHapusaamiin. makasih mbak Leni ya. salam kenal :)
Hapushmmm, hampir2 bacanya, melow2 agak bahagia begitu. selamat ya sudah punya adik, btw saya dan kaka saya beda 17 tahun juga kok ^_^, tapi kasusnya beda, beliau sulung, saya bungsu, dan diselipkan 5 saudara diantara kami
BalasHapuswaah salam yaa kepada si sulungnya :) saudaranya banyak sekali rame banget kayanya ya mas?
HapusSelamat :-) Ikut bahagia, kalau baca cerita tentang anak, jadi inget anakq.
BalasHapushehhehee iyaaa. terimakasih banyak :)
Hapus10 tahun bukan 17 tahun kali yong, emangnya lo dari bayi udh minta adik? Wkwk.. Anw, nangis nih gue pas bagian rumah sakit..
BalasHapushaha jeli ya lo teng. ehh masa nangis. semoga bisa jadi pelajaran aja sih gue mah berharapnya :)
Hapus